Kaca Spion (Andy F Noya)
Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan
Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke
sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar
perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun
baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh
dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat
sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini
gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya
juga masih sama.
Tapi mengapa rasanya jauh berbeda? malamnya, soal gado-gado itu saya
ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi
ada hal lain yang membuat saya gundah.
Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu
mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit
saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari
buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan
buku membuat saya merasa begitu bahagia.
Biasanya satu sampai dua jam saya di sana. Jika masih ada waktu, saya
melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku
baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum
meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado
di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam.
Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero
Jakarta. Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong.
Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya
pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari
kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan
Siapa Orang Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian
Bisnis Indonesia . Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA.
Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian
Media Indonesia dan Metro TV.
Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di
sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya
menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan
kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi
menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika
suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil
sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak
ingin menjadi sombong karenanya.
Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya .
Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas
dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan
tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain
bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil.
Kaca spion mobil itu patah.
Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer
saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah
saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang
sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah
garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya
disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar
yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya.
Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya
tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar
keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. dengan suara
keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta
ganti rugi atas kerusakan mobilnya.
Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak
bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca
spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang
senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang
mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos
menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu
dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan
ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari
menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harus bisa bertahan
hidup sebulan.
Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut.
Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk
mengambil uang.
Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan
uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir
bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu
ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah
artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat
kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?
Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat
wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci
pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya
benci orang kaya.
Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban
mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya.
Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan
orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang
gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik,
diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya
bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya
puas. Ada dendam yang terbalaskan.
Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang
kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil
mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka
tidak punya hati nurani.
Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa
kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu
tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah
berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan
kepada istri. Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa
bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu
karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan.
Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan.
Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba
makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika
dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, "Kamu
berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras." Tidak mudah untuk
untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan
meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat.
Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada
ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi
sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang
berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi
sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.
Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak
sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca
spionnya saya tabrak. Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam
hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah
satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang.
Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik,
ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat
untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor
yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang
dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh.
Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain
karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok. Hanya dalam
sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa
dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion.
Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung.
Sang ibu, yang ecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta
maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia
berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut
ganti rugi.
Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas
segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada
saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu.
Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.
Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan
begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang
itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti
yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman
hidup yang pahit.
Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta.
Tapi, suatu hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke
sana . Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar
perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun
baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh
dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat
sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini
gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya
juga masih sama.
Tapi mengapa rasanya jauh berbeda? malamnya, soal gado-gado itu saya
ceritakan kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi
ada hal lain yang membuat saya gundah.
Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu
mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit
saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari
buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan
buku membuat saya merasa begitu bahagia.
Biasanya satu sampai dua jam saya di sana. Jika masih ada waktu, saya
melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku, terutama buku
baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang. Sebelum
meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak gado-gado
di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam.
Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero
Jakarta. Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong.
Makan sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya
pasti nambah satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari
kuliah, saya bekerja di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan
Siapa Orang Indonesia . Kemudian pindah menjadi reporter di Harian
Bisnis Indonesia . Setelah itu menjadi redaktur di Majalah MATRA.
Karir saya terus meningkat hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian
Media Indonesia dan Metro TV.
Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di
sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya
menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan
kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi
menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika
suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil
sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak
ingin menjadi sombong karenanya.
Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya .
Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas
dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan
tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain
bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah mobil.
Kaca spion mobil itu patah.
Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer
saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumah
saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang
sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah
garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya
disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar
yang cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya.
Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya
tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar
keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang. dengan suara
keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta
ganti rugi atas kerusakan mobilnya.
Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak
bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca
spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang
senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang
mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran, ongkos
menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju memakan waktu
dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak menentu. Kadang sebulan
ada tiga, tapi lebih sering cuma satu. Dengan penghasilan dari
menjahit itulah kami - ibu, dua kakak, dan saya - harus bisa bertahan
hidup sebulan.
Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut.
Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk
mengambil uang.
Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan
uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir
bulan, saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu
ketakutan. Di mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah
artinya kaca spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat
kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi?
Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat
wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci
pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya
benci orang kaya.
Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban
mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya.
Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan
orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang
gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik,
diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya
bawa lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya
puas. Ada dendam yang terbalaskan.
Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang
kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil
mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan. Mereka
tidak punya hati nurani.
Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa
kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu
tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah
berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan
kepada istri. Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa
bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu
karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan.
Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan.
Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya kesempatan mencoba
makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika
dia melihat saya tetap gundah, istri saya mencoba meyakinkan, "Kamu
berhak untuk itu. Sebab kamu sudah bekerja keras." Tidak mudah untuk
untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama sulitnya dengan
meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua orang kaya itu jahat.
Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang saya terima, ada
ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya tidak lagi
sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan gado-gado yang
berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang berubah, tetapi
sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.
Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak
sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca
spionnya saya tabrak. Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam
hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah
satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang.
Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik,
ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat
untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor
yang menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang
dibonceng adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh.
Pengemudi motor adalah anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain
karena terjatuh, tentu karena melihat mobil saya penyok. Hanya dalam
sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa
dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion.
Wajah yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung.
Sang ibu, yang ecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali meminta
maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya, dia
berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak menuntut
ganti rugi.
Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat pasi. Hati yang panas
segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa yang pernah terjadi pada
saya. Saya tidak boleh membiarkan benih kebencian lahir siang itu.
Apalah artinya mobil yang penyok berbanding beban yang harus mereka pikul.
Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka. Dengan
begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Setidaknya siang
itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti
yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman
hidup yang pahit.